Oleh: Redaksi 360degree
Pada 28 Agustus 2025, ribuan buruh dan elemen masyarakat dari berbagai penjuru Indonesia turun ke jalan. Mereka tidak hanya membawa spanduk dan megafon, tetapi juga membawa suara hati jutaan rakyat yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan ekonomi yang kian menekan. Demonstrasi nasional ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan akumulasi kekecewaan terhadap para wakil rakyat yang dinilai gagal menunjukkan empati di tengah krisis kebutuhan pokok dan tekanan pajak yang semakin membebani.
Harga Kebutuhan Pokok: Naik Tanpa Kendali
Inflasi tahunan yang mencapai 3,26%mungkin terdengar moderat di atas kertas, namun di lapangan, harga beras, minyak goreng, telur, dan kebutuhan dasar lainnya melonjak jauh melebihi angka tersebut. Daya beli masyarakat menengah ke bawah terus merosot, sementara subsidi dan intervensi pasar dari pemerintah dinilai belum cukup efektif.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya respons konkret dari anggota DPR RI. Alih-alih menyuarakan aspirasi rakyat, sebagian besar justru sibuk dalam dinamika politik internal dan pembahasan regulasi yang tidak langsung menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat.
Pajak: Instrumen Negara atau Beban Rakyat?
Salah satu tuntutan utama dalam demonstrasi adalah reformasi sistem perpajakan. Buruh menuntut agar batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 7,5 juta per bulan. Di berbagai daerah, seperti Pati dan Cirebon, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bahkan mencapai 1.000%—sebuah angka yang memicu kemarahan warga.
Ironisnya, di tengah tekanan pajak terhadap masyarakat kecil, pemerintah justru memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada korporasi besar dan individu kaya. Ketimpangan ini menjadi bahan bakar utama dalam narasi demonstrasi: pajak bukan lagi alat redistribusi, melainkan simbol ketidakadilan struktural.
Warisan Utang Era Jokowi: Bayangan Gelap di Langit Ekonomi
Salah satu akar dari kebijakan fiskal yang ketat adalah beban utang negara yang terus membengkak. Di akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, utang Indonesia mencapai Rp 8.461 triliun atau 38,49% dari PDB. Kenaikan terbesar terjadi selama pandemi COVID-19, ketika utang melonjak dari Rp 4.778 triliun (2019) menjadi Rp 6.074 triliun (2020).
Meski rasio utang masih di bawah batas aman 60% PDB, dampaknya terasa nyata: ruang fiskal menyempit, belanja sosial terbatas, dan pemerintah terpaksa mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan. Dalam konteks ini, rakyat bukan hanya membayar harga dari inflasi, tetapi juga dari keputusan fiskal masa lalu.
Di Mana Empati Wakil Rakyat?
Demonstrasi ini bukan hanya soal ekonomi. Ia adalah refleksi dari krisis representasi. Ketika rakyat bersuara, apakah parlemen mendengar? Ketika dapur rakyat nyaris tak berasap, apakah anggota dewan tetap nyaman di ruang ber-AC membahas regulasi yang jauh dari realitas?
Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan bahwa aksi ini adalah panggilan moral bagi para pemimpin untuk kembali berpihak pada rakyat. Mereka menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8,5–10,5%, penghapusan sistem outsourcing, dan pembentukan Satgas perlindungan pekerja.
Dari Jalanan ke Parlemen
Demonstrasi 28 Agustus 2025 adalah pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal partisipasi aktif rakyat dalam menentukan arah kebijakan. Ketika suara rakyat bergema di jalanan, para wakil di Senayan seharusnya tidak hanya mendengar, tetapi juga bertindak.
Jika tidak, maka jurang antara rakyat dan wakilnya akan semakin lebar—dan sejarah telah menunjukkan bahwa ketidakadilan yang dibiarkan terlalu lama, selalu berujung pada perubahan yang tak terhindarkan.
DMD